Part 10
Kriiinggggggggg....
Jam weker di samping tempat tidur Mizanti alias Michel berdering – dering. Tanda bahwa hari telah berganti pagi, dan sang pemilik kamar harus segera bangun untuk sekolah.
“Masih ngantuk” Michel mematikan bunyi weker yang berisik itu, lalu kembali menggeliat tidur. Berharap dapat melanjutkan mimpi lima menit lagi.
I can’t breathe easy..
Can’t sleep at night.. Till you’re by my side...
Kali ini HP yang terletak di bawah bantal Michel ganti berbunyi nyaring.
Duhh, lain kali gue nggak akan pake volume 5, batin Michel sambil meraba-raba HP yang entah terselip di mana.
Akhirnyaa... “Halo.” Kata Michel sengan suara parau.
“Hoii.. belum bangun nih?? Ayo bangonnn! Sudah pagi, malu tau sama matahari!” sapa suara yang sangat di kenal Michel. Suara yang selalu dirindukan cewek ini.
“He-eh.. ni juga baru bangun. Ada apa Dick? Kok lo tumben telpon gue pagi-pagi gini??” tanya Michel. Kali ini matanya sudah benar-benar terbuka lebar. Rasa kantuk yang tadi menerpa seakan hilang oleh entakan suara Dicky.
“Nggak papa. Kangen aja sama suara lo. Jangan lupa bawa latian biologi ya! Gue mau nyontek. Gue belom sempet ngerjain.”
“Oooo... Gue kira lo sungguhan kangen sama gue. ternyataaa... ada maunyaa.. ._.”
“Ehh, enggak kok. Jangan berpikir negatif dulu. Hahaha... Gue emang kangen kok sama suara lo, bukan orangnya.. ahaha.. Ya, udah. Sana mandi! See you at school.. bye..”
Michel tersenyum, lalu mematikan teleponnya. Dicky.. Dicky.. seandainya lo telpon gue tiap pagi gini, mungkin gue bakalan bangun lebih pagi dari ayam, Cuma buat nungguin telpon dari lo , batik Michel
“Jadi, kalian udah tambah deket nih??” tanya Ika.
“Mm.. nggak tau juga.” Jawab Michel, sambil memandangi ayam goreng kremes-nya yang terlihat menggiurkan.
“Ah, Michel ngomongnya sok rahasia deh!” goda Ika.
“Ya nih. Cerita sama kita dong kalo ada kemajuan.” Tambah Rheyna.
“Dicky sering ngehubungin loo, Ika?” tanya Michel.
Ika menggeleng. “Dari dulu Dicky emang nggak pernah terlalu deket sama aku. Trauma sama masa lalu, kali! Hahaaa..”
“Emang masa lalunya lo buat menderita?”
“Hahaha.. Ya enggak juga. Cuma dulu tuh kalo Dicky telpon nggak pernah aku tanggepin.” Jawab Ika. “Iya, dan kalo di sekolah maunya deket-deket melulu. Sejak aku jadian sama Rafael, Dicky udah nggak kayak dulu lagi. Kayaknya udah jaga jarak, gitu.”
“Cieee... Mentang-mentang udah punya cowok..”
“Emang kenapa, Mi??” tanya Ika.
“Ya, nggak papa. Cuma nanya aja. Sekarang sih kalo di kelas Dicky sering ngobrol bareng gue. kalo kerja latian, juga maunya kerja sama gue. sampe gue nggak enak sama anak-anak.”
“Kenapa?” tanya Rheyna.
“Ya, Dicky kan ganteng, Rhey. Nggak salah kan kalo anak-anak kepengen deket sama dia juga.”
“Hahaha.. Itu resikonya suka sama cowok populer.”
“Kalo di rumah, Dicky juga sering telpon. Kadang juga ngajak jalan. Ya, menurut gue sih kita tambah deket. Walau begitu, gue nggak mau ge-er dulu. Nggak mau sakit hati.” Jelas Michel diplomaqtis.
Kedua temannya Cuma manggut-manggut.
“Udah, makan ah! Laper banget nih gue!” kata Michel sambil memasukkan potongan besar paha ayam ke mulutnya.
“Mi, entar malem lo ada acara nggak? Pergi yuk!” ajak Dicky.
“Nggah ada sih, emang mau ke mana?” jaeab Michel, sambil memasukkan bukunya ke dalam tas.
“Ya, jalan aja. Ni kan malem minggu, bosen dong di rumah terus! Gue jemput jam lima, gimana?”
“Mmm.. Nggak papa, gue bisa-bisa aja. Mau ngapain?”
“Ya, terserah lo aja. Mau nonton, makan, jalan-jalan, shopping, juga gue temenin. Boring banget di rumah melulu..”
“Oke deh. Gue pulang dulu, ya.” Pamit Michel.
“Eh, sama siapa lo pulang?”
“Gue biasa numpang Cynthia, rumahnya deket sama gue.”
“Gue anter yuk!”
Jantung Michel berdebar tak karuan. Walau sudah berteman lama dengan Dicky, tapi baru kali ini Dicky berniat mengantarnya pulang. Tak urung selama perjalanan yang memakan waktu kurang-lebih 25 menit, Michel hanya bisa diam dan berharap agar debaran jantungnya tak kedengaran oleh cowok yang hanya berjarak satu meter di sebelahnya ini.
“Kok lo diem, Mi?”
“Eh, nggak papa. Lo sendiri nggak ngajak gue ngomong sih!” elak Michel.
“Hahahaha... Dasar! Pinter juga nyari alasannya.”
“Dick..” kata-kata Michel menggantung. Seperti meminta izin untuk bertanya. *wew..*
“Hmm??”
“Ngomong-ngomong.. Lo masih suka sama Ika?” tanya Michel hati-hati.
Dicky diam sebetar. “Kenapa emang?”
“Eh, nggak papa. Gue nanya aja, lo jangan tersinggung.”
“Buat apa tersinggung, nggak papa kok. Ya, mungkin bisa dibilang masih ada sedikit rasa suka di hati gue.”
“Sedikit?” tanya Michel.
Dicky mengangguk, “Gue kan suka sama Ika dari SD, jadi wajar aja kalo gue susah ngelupain dia. Gue sadar kok, perasaan Ika ke gue biasa-biasa aja. Lagian, akhir-akhir ini gue sadar ada orang lain yang mungkin lebih pantes gue sukai.” Kata Dicky seperti terputus di tengan-tengah, menggugah rasa ingin tau di hati Michel.
“Orang lain? Emang lo suka sama cewek lain?”
“Mmm.. Gue sendiri masih belum tau perasaan gue ke cewek ini. Yang pasti, ini cewek selalu siap waktu gue butuhin, selalu ada buat nemenin saat gue sendiri. Gue ngerasa jadi diri gue yang sesungguhnya di depan cewek ini. Gue jadi ngerasa nyaman kalo sama dia. Ya, gue juga sadar hati gue bukan buat Ika aja. Masih banyak orang yang bisa gue suka selain Ika.”
Michel tersenyum. Tulus. Ia menaruh sedikit harapan bahwa cewek yang dimaksud Dicky adalah dirinya. Akan tetapi ia nggak mau terlalu banyak berharap karena ia juga nggak mau terlalu terluka.
Honda Accord hitam milik Dicky berhenti di depan pagar rumah Michel.
“Gue harap tuh cewek juga suka sama lo deh! Pokoknya, gue bakalan bahagia kalo lo juga bisa bahagia. Gue turun dulu ya, thanks..”
“Gue jemput jam lima! Jangan ngaret, dandan yang cakep, biar gue nggak malu.”
“Dasar! Lo tenang aja, gue sih dari sononya udah cakep kok! Lonya aja yang belom nydar!” jawab Michel, sambil melambaikan tangan.
Seorang gadis beranjak keluar dari mobil Jaguar yang mewah. Di belakangnya, dua pelayan membawakan dua koper dan empat tentengan besar yang menjadi barang bawaannya kembali ke Indonesia. Gadis itu berjalan dengan mantap, memasuki pintu rumahnya yang besar bagai istana.
“Eh, non Vita udah datang! Mari masuk, non!” sapa salah seorang pelayan, yang membukakan pintu bagi gadis itu.
“Mama ada?” tanyanya.
“Nyonya ada di perpustakaan non. Sedang baca buku. Katanya, kalo non Vita sudah datang disuruh langsung ke perpustakaan.” Jawab pelayan itu.
“Kalo papa?”
“Tuan jam segini masih di kantor, Non. Perusahaan akan meluncurkan produk baru, jadi tuan sering pulang telat.”
“Ya udah. Makasih. Ngomong-ngomong, itu dua kantong belanjaan warna merah oleh-oleh buat kalian berlima. Sana, bagi rata.” Kata Vita, diikuti dengan anggukan kepala sang pelayan.
“Terima kasih banyak ya non!”
Setelah berbincang cukup lama dengan mamanya, Vita merebahkan diri di ranjang kamarnya yang sudah rapi dibersihkan. Mengurangi sedikit rasa capek yang dirasakannya setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Ia lalu membuka tas tangan yang dibawanya, mengambil HP, dan memencet beberapa nomer. Akan tetapi, diurungkannya sebelum sempat tersambung dengan sang pemilik nomer.
“It will be a surprise.” Katanya pelan. Lalu memilih untuk tidur.
“Yang, Kamis besok ada acara nggak?” tanya Rafael.
“Nggak, kenapa? Kan pacar tercinta lagi latihan, masa nggak mau nemenin sih?”
“Yee.. padahal biasanya kan sendiri juga nggak papa..” elak Ika.
“Kan mau ikut lomba, lagi. Jadi biar semangat, kamu harus nemenin.” Rayu Rafael.
“Ya udah. Aku lagi baek, jadi mau nemenin kamu..” jawab Ika pada akhirnya.
“Yessss!!! Thanks ya, Yang!” Rafael mengecup pipi Ika.
“Siiip! Ide kamu oke juga, Ham! Kita buat lomba kali ini lain daripada biasanya.” Seru Rangga girang.
“Swap kamu udah sempurna?” tanya Bisma pada Reza.
Reza mengangguk. “Sipp!”
“Heh, yang di situ jangan pacaran aja! Latihan lagi sana!” goda Ilham.
Rafael dan Ika menoleh.
“Sana, udah dipanggil tuh!” saran Ika.
“Yeee.. Baru juga istirahat sebentar. Ya.. Udah, liat aku baik-baik ya, pasti keren! Hahahaa..” seru Rafael, sambil kembali bergabung dengan empat temannya yang lain, lali dengan cekara memeragakan gerakan yang entah mengapa disebut Air Flare di atas karpet tipi, yang juga entah kenapa berwarna hitam dan putih. Belum terlalu sempurna, tapi itu sudah membuat Ika kagum dan terpana.
Ternyata breakdance keren juga, batin Ika. Sedikit timbul rasa bangga karena cowok yang sedang beraksi dengan lincah itu pacarnya.
“Udah lama pacaran sama Rafael?” tanya seorang cewek di sebelah Ika. Namanya Jessica, pacar Rangga.
“Lumayan, hampir dua bulan.” Jawab Ika. “Kalau kamu?” tanya Ika.
“Aku udah hampir satu tahun.” Jawabnya. “Pertama, aku sama sekali nggak ngerti yang namanya breakdance, tapi gara-gara Rangga aku jadi terbiasa. Kadang bosen kuga sih pacaran sama cowok breaker kayak gini, apalagi kalau udah persiapan mau lomba. Duh, pasti mereka jadi sibuk banget! Jujur, ada sedikit rasa bangga waktu aku liat mereka tampil dan di teriakun banyak penggemar, khususnya cewek-cewek. Jadi, merasa punya cowok terkenal.” Cerita Jessica, sambil tertawa. Entah mengapa cewek ini tiba-tiba membagi pengalamannya pada Ika.
Ika mengangguk-angguk tanda mengerti.
“Lo udah laper, Mi?” tanya Dicky.
Michel menggeleng. “Belum. Kalo lo?”
“Gue juga belom. Maen lagi yuk, entar kalo udah laper baru kita makan, gimana?” kata Dicky.
“Oke. Kali ini gue pasti dapet nilai lebih tinggi daripada lo.”
“Buktiin aja.” Dicky tersenyum melecehkan.
Dasar!
Keduanya lalu larut dalam kesenangan mereka. Seperti tak kenal umur alias seperti MKKB *Masa Kecil Kurang Bahagia*, mereka berdua menghabiskan waktu dengan bersenang-senang di TimeZone. Saling bertaruh siapa yang menang, pindah dari satu mesin ke mesin lain demi mendapatkan kemenangan dari pihak lawan, ataupun mengabaikan momen special ini di photobox.
“Hahahaha.. Gue cantik banget di sini.” Kata Michel.
“Enak aja! Gue yang keren! Liat tuh, keren kan gaya gue?” kata Dicky.
“Hahahaha.. Dasar lo-nya aja yang narsis. Gue udah laper, makan yuk?”
“Oke, gue juga udah laper banget nih! Lagian, nungguin foto jadi aja, lamanya minta ampun.” Kata Dicky.
“Yeee.. Foto di sini emang jadinya selama itu. Nggak usah cerewet deh!”
“Hehehehe.. Makan yuk!” kata Dicky, sambil menarik lengan Michel, membuat jantung Michel seakan berhenti mendadak.
Michel tak bisa menutupi bahwa saat itu wajahnya pasti bersemu merah. Beruntung Dickt membelakanginya. Jadi, ia sempat mengatur napas dan menenangkan gejolak hatinya tanpa diketahui cowok itu. Tangan Dicky menyentuh lengannya. Walau memang tak dapat dikatakan romantis, tapi itu cukup membuat Michel salting karena detak jantungnya bergemuruh cepat, membuat dadanya ingin meledak.
Sambil berjalan membelakangi, alih-alih menarik Michel agar berjalan lebih cepat, Dicky tak dapat berbohong bahwa mulai timbul getaran-getaran aneh saat tangannya menyentuh lengan Michel. Suatu getaran aneh, yang sempat membuat ia tak sanggup menoleh ke aras=h cewek di belakangnya karena takut cewek itu akan merasakan betapa getaran-getaran itu membuat wajahnya bersemu merah.
“Non, Non Vita mau pergi?” tanya seorang pelayan pada Vita.
“Suruh sopir siapin mobilnya, ya.”
“Baik, non. Non Vita mau sopir yang mana? Pak Adi, Pak Arif, Pak Tri, atau Pak Eko, Non?”
Vita menatap pelayannya dengan tatapan sedikit aneh. Emang aku punya segitu banyak sopir ya, batin Vita.
“Mmm.. Yang waktu itu jemput aku di bandara siapa?”
“Yang itu namanya Pak Adi, Non.”
“Ya udah, yang itu aja. Pak Adi.”
“Baik, Non..” pelayan itu keluar dari kamar Vita.
Yang, dah tdr blom? Lg kangen berat nih..
Rafael memencet tombol ‘send’
Tak sampai lime menit kemudian, HP Rafael bergetar.
Belom... Lg mikirin kmu jg.. Hahaha.. Ngapain kngn, Yang? Td kan udh tlp lama bgt. Lgian bsk di sklh bkal ktemu lg kan.. ^v^
Gpp. Boleh2 aj kan kangen ma yayang ndri. Hehe.. Yang, bsk km jd kerja kelompok di rmh Rheyna? Jam brp?
Jd, Yang.. Sktr jm 12. Km anter, ya? Bisa nggak? Ntar plg biar Rheyna yg anter.. Pling jg malem plgnya...
Ting.. Tongg.. Bel pintu depan rumah berbunyi.
Rafael melirik jam dinding di sudut kamarnya. Pukul delapan malam. Siapa yang dateng malem-malem gini? Batin Rafael. Ia beranjak ke depan untuk membukakan pintu.
Entah ada yang salah pada penglihatan Rafael atau tidak, saat pintu terbuka berdiri di hadapan Rafael.. Diaa.. Dia..
“Vita?” Rafael berharap ada yang salah dengan mnatanya. Sayangnya, gadsis itu malah tersenyum dan mengangguk pelan.
“Hai, Raf!” sapanya hangat.
Rafael berdiri mematung. Tak tau harus bereaksi seperti apa. Vita berdiri di hadapannya. Ada apa ini? Mengapa begitu mendadak? Vita?
Vita tidak banyak berubah sejak ia meninggalkan Indonesia. Hanya saja, rambutnya semakin panjang dan kali ini disemir kecoklatan. Hal ini menambah apik pesona yang dipancaekannya. Vita juga semakin tinggi, menyempurnakan kedewasaannya yang terpancar dari wajah lembutnya. Senyumnya tetap ramah, menunjukkan bahwa ia gadis yang baik. Mata itu... Mata gadis itu tetap hangat. Sama seperti mata yang sempat dirindukan Rafael sekian lama.
“Raf? Kok kayak ngeliat setan sih? Nggak nyuruh aku masuk nih?” kata-kata Vita menyadarkannya.
“Ah, ya. Aku benar-benar nggak nyangka ngeliat kamu disini. Ayu masuk!”
Vita masuk, lalu duduk di kursi ruang tamu Rafael. Sesekali melihat sekeliling.
“Rumah kamu nggak berubah ya, Raf! Tetep minimalis.”
Rafael hanya tersenyum. Pikirannya masih kacau, tak bisa berpikir jernih. Vita? Vita? Kenapa dia ada disini?
“Vitaa..” Rafael bingung harus berkata apa.
“Vita tersenyum. “Ya.. Kenapa? Pasti kamu nggak nyangka aku bakal balik lagi ke Indonesia, kan?”
Rafael mengangguk.
“Nggak ada tujuan khusus sih sebenernya. Sekolah lagi libur di sana. Jadi, aku balik ke sini dulu. Lagian, ada urusan penting yang harus aku selesaiin di sini.”
“Urusan penting? Urusan apa? Kamu jadi sok penting gitu sih?” gurau Rafael.
“Urusan penting banget pokoknya. Yang mungkin bisa buat aku nggak jadi balik lagi ke Aussie.” Jawab Vita seius.
“Serius banget kayaknya, sampe kamu ngerelain sekolah kamu gitu.”
“Ya, serius lah. Penting banget malah! Kan ini menyangkut masalah hati, juga perasaan. Aku mau nyelesaiin masalah perasaanku yang aku tinggal di sini dua tahun lali.” Jawab Vita, sambil tersenyum penuh arti.
Dua tahun lalu? Apa.. Apa masalah itu? Apa Vita berniat ngungkapin jawaban atas pertanyaanku dua tahun lalu? Apa mungkin Vita balik ke Indonesia Cuma demu=i masalah itu? Jawaban apa yang bakal dia berikan? Apa.. Apaa..
“Raf, besok sore nggak ada acara, kan?” tanya Vita tiba-tiba, sebelum Rafael ssempat menemukan jawaban semua pertanyaan di hatinya.
“Mm.. sore kayaknya nggak ada. Kenapa?”
“Nonton yuk!”
Rafael tidak bereaksi.
‘Raf, kok diem sih? Mau, ya? Kamu jemput aku jam tiga, gimana? Habis gitu kita makan.”
Belum lagi Rafael menemukan jawaban yang tepat atas semua pertanyaan di hatinya, tanpa sadar ia sudah mengangguk memberikan persetujuan ajakan Vita.
“Kamu nggak perggi sama Rafael, Ika?” tanya Rheyna, sambil mengemudikan mobilnya dengan hati-hati. Maklum, ia baru saja mendapat SIM dan mobil pribadi. Jadi, wajib hukumnya secara ekstra. Akhirnya, setelah selesai mengerjakan tugas sosiologi, dengan dalih mengurangi kecepatan akibat belajar mereka sepakat pergi ke PTC, Pakuwon Trade Center.
“Nggak. Lagian, aku kan mau menikmati mobil baru kamu, Rhey!” jawab Ika enteng. “Pokoknya, hari ini kita shopping sampe puas!”
“Dasar! Kalo gini aja baru inget sama temen. Biasanya juga sibuk nge-date, kan?”
“Ah, jangan gitu, Rheyna sayang! Aku inget terus kok sama kamu, sampe-sampe kebawa mimpi. Hahaha...”
Mereka berdua tertawa bersama.
“Ngomong-ngomong, Michel pergi sama Dicky?” tanya Ika.
Rheyna mengangguk. “Nemenin Dicky beli memory card katanya.”
“Halah, paling sekalian nge-date. Kayaknya Dicky suka sama Michel.”
“Kalo masalah itu, nggak deh! Kayak kamu nggak tau Dicky aja, pikirannya kan nggak bisa ditebak. Sekarang deket sama cewek ini, besoknya bisa deket sama cewek lain. Ya, tentunya kalo sama kamu, dia lain. Hahaha..”
“Dasar! Basi lagi ngomongin aku sama Dicky.”
“Ya, ya, ibu-ibu yang sudah besuami. Hahaha..”
“Mentang-mentang masih jomblo, gitu? Sana, cepet cari pacar! Biar malem minggu gak lumutan di rumahy.”
“Yeee.. Biarin! Daripada yang kerjaannya setiap minggu jalan berdua? Di sekolah juga ketemu, kan? Nggak bosen tuh, Non?”
“Nggak tuh! Kan aku cinta sama dia. Hahaha..”
“Basi!”
“Hahaha!!!”
Tak terasa, mereka berdua sudah samoai di parkiran PTC.
“Yuk, turun!”
Vita menatap lekat dirinya di cermin besar yang ada di sisi kiri kamarnya. Celana jeans skinny warna biru tua, dengan tube top warna kuning muda dipadukan dengan blazer putih yang manis. Eye shadow kuning muda bergliter, blush on warna peach yang disapukan tipis, diakhiri dengan sentuhan lipgloss warna pink muda. Sempurna, batin Vita.
“Non, temannya sudah menjemput.”
“Suruh nunggu sebentar.”
“Hai, Raf! Kelamaan nunggu, ya?” sapa Vita, begitu melihat Rafael di ruang tamu.
“Nggak juga. Berangkat sekarang yuk, nonton yang jam empat, kan?”
“Oke deh!”
“Kamu baik-baik aja di Surabaya, Raf?” tanya Vita, begitu mereka sampai di mobil. “Denger-denger kamu pindah ke sekolah Dicky?”
“Yup. Kamu sendiri, gimana di Aussie? Enak nggak?”
“Lumayan. Not bad lah, tapi kadang bosen sih dengan semua rutinitas yang ada, kayaknya Cuma itu-itu aja. Apalagi nggak ada kamu.”
Jantung Rafael sedikit berdesir. Vita.. Vita..
“Eh, nanti habis nonton jalan-jalan dulu, ya? Kan makannya maleman, jadi bisa shopping dulu. Kangen nih sama butik-butik Surabaya!” kata Vita.
“Oke. Tenang aja. Pokoknya, hari ini aku bakalan nemenin kamu sampe malem.” Kata Rafael.
“Hahaha.. Thanks ya, Raf.”
“Sama-sama.” Kata Rafael, sambil tersenyum.
“Aku bener-bener puas nih belanjanya.” Kata Ika.
“Ya. Kamu beli banyak gitu! Kalo aku ya biasa-biasa aja, Cuma dapet celana sama gantungan HP.” Kata Rheyna.
“Hahahaha.. Jangan khawatir Rhey, kita nanti cari baju buat kamu.. Aku kan nggak enak! Masa aku beli begini banyak, kamu Cuma nemenin sih.”
“Dasar! Awas kalo nantik nggak mau nemenin aku. Aku masih belum puas belanja. Hari ini kan shopping day! Makan dulu yuk, laper!” ajak Rheyna.
“Oke. Excelso, ya? Aku masih ada voucher lima puluh rimu nih! Kan lumayan.” Tawaqr Ika.
“Siipp! Aku mau floating island.” Kata Rheyna.
“Makan apa ya? Yang nggak mahal, tapi kenyang. Mm.. Gimana kalo pesen tuna sandwich, enak banget tuh!”
“Ika, kok diem? Aku jadi ngomong sendiri deh! Loh, Ika?” Rheyna mencari Ika. Rupanya Ika masih terpaku berdiri diam di belakang Rheyna.
“Ika, kok berhenti?” Rheyna menatap Ika. “Ika?”
Ika bgerdiri mematung. Pandangannya lurus ke depan. Kantong belanja yang tadi dibawanya jatuh tergeletak di lantai. Matanya menatap sesuatu di seberang sana. Rheyna mengikuti pandangan Ika, lalu melongo.
Di seberang sana, Rheyna melihat pemandangan yang membuatnya tak habis pikir. Seorang cewek tinggi berambut panjang dan cantik, sedang mengapit mesra pundak seorang cowok jabrik berkaos putih. Sesekali sang cewek menoleh manja pada sang cowok, yang segera dibalas cowok itu dengan senyum manis. Cowok itu... Sepertinya tak asing di mata Rheyna. Cowok itu... Cowok itu.. Bukankah itu.. Rafael?
Rheyna melihat ke arah Ika. Sahabatnya masih diam tak bergerak. Sedetik kemudian butiran bening meluncur keluar dari pelupuk matanya.
“Kita pulang ya, Rhey.” Kata Ika, yang diikuti anggukan kepala Rheyna.
“Kamu nggak papa, Ika?” tanya Rheyna. “Rafael harus ngejelasin hal ini. Kamu harus minta penjelasan dari dia, Ika!”
Ika tetrap diam.
Sakit. Sakit sampai ngilu rasa hati Ika. Saat melihat Rafael menggandeng mesra cewek tadi, Ika seperti di tusuk sembilu. Sakit. Perih. Ika benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Sekali lagi air matanya menetes.
“Ika.” Rheyna memegang lembut pundak sahabatnya itu. “Kamu nggak usah berpikir buruk dulu, ya? Mungkin aja itu saudaranya, ya kan? Pokoknya, kamu harus tenang. Nati kita minta penjelasan ke Rafael tentang kejadian hari ini. Kamu jangan kayak gini, ya? Aku jadi ikut sedih.,”
“Thanks ya, Rhey. Sori, nggak jadi nemenin kamu belanja..”
“Halah, nggak papa, lagi! Belanja kan bisa kapan aja. Kamu berutang nemenin aku belanja satu kali, gimana?” canda Rheyna.
Ika tersenyum. “Thanks ya, Rhey.”
“Hai, Priyanka?” sapa seorang cowok. Dia menyentuh pundak Ika saat hendak memasuki mobil Rheyna dan bergegas pulang.
“Eh, Rangga?” Ika segera menghapus air mata di pipinbya. “Sama siapa, Ngga?” tanya Ika lagi.
“Sama temen-temen sekolah. Nggak lagi sama Rafael, Ika?”
“Oh, nggak. Lagi pengen jalan sama temen aja. Kenalin, ini Rheyna.” Kata Ika, memperkenalkan Rheyna pada Rangga.
“Rangga.” Kata Rangga, mengulurkan tangan pada Rheyna.
“Mm.. Aku balik dulu, ya! Daa..” pamit Ika.
Belum lagi melangkah jauh, Ika berbalik.
“Eh, Ngga?”
Rangga menoleh.
“Boleh tanya sesuatu??”
To Be Continued~
Thanks for reading =)
follow @HeartSmash4eva & @PrincesaBala2 =)
Gbu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar