Sabtu, 25 Februari 2012

#12 I Heart You Manyunku

Part 12




Rafael memandang bangku kosong di sebelah kirinya. Sampai bel tanda masuk kelas berbunyi, bangku itu masih saja kosong. Kalau dihitung-hitung sudah tiga hari bangku itu tak berpenghungi.
            “Ika nggak masuk lagi ya, Rhey?” tanya Rafael pada Rheyna.
            Rheyna sebenernya males menanggapi, tapi dijawabnya juga pertanyaan itu.
            “Mm.. Nggak tau ya.”
            “Ika nggak cerita sama kamu kenapa dia nggak masuk? Apa dia sakit?” Rafael bertanya lagi.
            “Rafael. Aku nggak tau. Udah deh, kalo kamu mau tau kenapa Ika nggak masuk, kenapa kamu nggak ke rumahnya aja sih? Daripada repot tanya-tanya tapi nggak ada jawabannya, kan?” jawab Rheyna sedikit kesal.
            “Deal! Aku ke rumahnya entar. Thanks ya.” Rafael menjentikkan jari.
            Dasar cowok aneh, pikir Rheyna. Jelas-jelas Ika sudah nggak masuk tiga hari, masa baru sekarang kepikir dateng ke rumahnya? Apa takut sama Ika? Gara-gara kepergok jalan sama cewek lain? Heh, dasar cowok, maunya menang sendiri! Mm.. Tapi sejak hari Senin lalu Ika belum cerita sama aku tentang hubungannya dengan Rafael. Apa waktu itu Rafael udah ngakuin semuanya? Atau, dia malah milih diam? Ika, Ika.. Kamu kemana sih? Menghilang tiga hari, nggak ngabarin lagi. Kita kan jadi cemas, batin Rheyna mengingat sahabatnya ituu.
            Memang, sejak bertemu Rafael tiga hari lalu, Ika bungkam. Ia sama sekali belum mau cerita pada siapa pun tentang keadaannya saat ini. HP-nya selalu nggak aktif. Telepon rumahnya pun nggak pernah diangkat. Rheyna, dan juga Michel, akhirnya memilih untuk mendiamkan sikapnya, sampai Ika benar-benar siap untuk berbagi pada mereka.
“Ika, kamu udah makan?” tanya Cesa, sambil menongolkan kepalanya dari pintu kamar Ika.
            “Udah, barusan aja. Baru pulang, Ces?”
            “Ya, tapi mau pergi lagi. Hehehe... Biasa, cari makan sama Morgan. Kamu nggak papa kan ditinggal sendiri?”
            Ika mengangguk. “Ya nggak papalah, Ika kan udah gede.”
            “Ya deh, jangan lupa minum obat ya.”
            “Beres.”
            Begitu Cesa dan Morgan hendak masuk ke mobil, dilihatnya mobil Rafel memasukki halaman rumah.
            “Eh, Rafael? Nyari Ika?” sapa Cesa begitu melihat Rafael turun dari mobil
            “Ya. Dia ada?” tanya Rafael.
            “Ada. Di kamar, kamu langsung masuk aja.”
Rafael mengiyakan, kemudian masuk ke rumah dan langsung menuju kamar Ika.
            “Ika, aku masuk ya?”
            Rafael mengetu pintu kamar Ika. Sesaat kemudian dia membuka pintu, dan perlahan masuk ke kamar.
            Ika membalikkan badan.
            Degg!! Rafael. Mau apa dia ke sini?
            “Mau ngapain kamu ke sini, Raf?” tanya Ika ketus. Ekspresinya dingin. Tak mau menatap Rafael, yang mengenyakkan tubuhnya di sofa kecil berwarna pink di sebelahnya.
            “Kamu sakit, Ika? Kok tiga hari nggak masuk sih?”
            “Emang kenapa kalo aku nggak masuk? Toh, kamu juga nggak ngerasa kehilangan kan?” Ika mengalihkan pandangan ke arah yang berlainan.
            “Ya, kan kalo nggak ada kamu jadi nggak rame deh.” Jawab Rafel asal.
            Apa-apaan sih cowok ini?
            “Udah deh, Raf. Nggak usah basa-basi. Kamu mau ngapain ke sini?”
            “Mm.. Aku Cuma mau liat keadaan kamu. Aku pikir kamu sakit, kan udah tiga hari kamu nggak masuk sekolah. Aku bawain buku catatan selama kamu nggak masuk.” Jawab Rafael, sambil mengeluarkan beberapa buku dari tasnya.
            “Catatan siapa? Bukannya kamu nggak pernah nyatet?” tanya Ika. Tetap dengan nada ketus.
            “Ya, punyaku lah. Gara-gara nggak ada kamu, jadi kelas nggak ada kerjaan. Nyatet deh.” Jawab Rafael sambil nyengir.
            Ika jadi naik pitam. “Rafa! Udah deh, nggak usah sok baik.” Dia bangkit dari tidurnya. “Mending kamu pulang aja, kayaknya kamu nggak guna di sini!” hardiknya.
            “Ika? Aku.. aku Cuma mau liat keadaan kamu. Aku kan pacar kamu.”
            “Mulai sekarang, udah nggak lagi!” Ika bangkit berdiri.
            Rafel bisa melihat wajah Ika dengan jelas sekarang. Wajah cewek itu persis berada di hadapannya. Wajah yang terlihat sembab, sepertinya habis menangis semalaman. Di matanya yang indah Rafael melihat luka yang teramat dalam.
            “Ika? Apa kata kiamu tadi? Kamu..”
            Belum sempat Rafael menyelesaikan kata-katanya, Ika sudah menyambar lebih dulu.
            “Ya. Aku mutusin kamu. Kalo nggak mau, nggak papa. Anggap aja kamu yang mutusin aku. Pokoknya, mulai hari ini kita putus. Titik!” Ika meninggikan suara.
            “Ika.. Ika, aku nggak mau. Aku ke sini bukan buat minta putus, Ika. Aku masih sayang sama kamu.”
            “Sayang? Kamu sayang aku, Raf? Kalo kamu sayang, ke mana kamu selama tiga hari ini? Kenapa kamu nggak pernah ngehubungin aku, padahal kamu tau kita sedang punya masalah? Masalah itu belum beres, Raf! Gitu, kamu bilang kalo kamu sayang aku? Hem, gombal macam apa itu, Raf?” cibir Ika. Hatinya sudah terlanjur luka.
            Luka yang amat dalam. Sakit. Sakit sampai ke relung hati yang paling tersembunyi. Nyeri. Nyeri yang tak tertahankan.
            Rafael tak tahu harus berkata apa. Hatinya saat ini juga seperti dicabik-cabik.
            “Ika, aku Cuma pengen kamu nenangin diri dulu. Aku nggak mau ganggu kamu.”
            “Sekarang kamu udah ganggu jam istirahat aku. Kamu tau, Raf. Aku ini sakit. Sakit. Berhari-hari nggak tidur, aku capek. Sekarang, kamu udah sangat ganggu aku, ngerti?”
            “Ika, kita nggak putus kan? Aku masih sayang banget sama kamu, Ika.” Rafael tak tau harus gimana meyakinkan Ika kalo dia masih sangat menyayangi gadis itu.
            “Oke, kita nggak putus! Tapi, apa kamu rela ngelupain Vita?” tanya Ika.
            Jediang!!! Rafael seperti baru saja tersadarkan. Vita. Ya, kenapa ia sampai nggak kepikiran soal cewek itu ya?
            “Mm.. Kenapa soa Vita?”
            Gaya sok nggak tau Rafael semakin membuat Ika nggak bisa mengontrol emosisnya.
            “Kalo kamu mau sama aku, kamu harus ngelupain Vita. Masa hal sepele kayak gini aja kamu nggak ngerti sih, Raf?”
            “Tapi.. Tapi, Ika, aku.. Aku...” ucap Rafael terbata-bata.
            Ika sudah bisa membaca gelagat seperti ini. Tak mau lukanya semakin bertambah dalam, Ika langsung to the point.
            “Ya, udah. Kamu nggak bisa ngelupain Vita, kan? Udah deh, Raf, kita putus aja. Aku nggak mau jadi perusak hubungan kamamu sama Vita tercinta kamu itu. Kamu sayang sama dia, kan? Nggak bisa ngelupain dia, kan? Ya udah, aku nggak papa. Kamu balik aja sama dia! Keliatannya dia juga masih suka sama kamu.”
            Rafael hanya diam. Hal ini menambah perih hati Ika. Sebenernya kalo boleh jujur, Ika ingin Rafael memillih dirinya. Ia ingin sekali lagi Rafael menyatakan rasa sayangnya pada Ika. Seandainya Rafael dapat secara tegas memutuskan bahwa ia sangat menyayangi Ika dan bersedia melupakan Vita, Ika juga bersedia melupakan setiap detail kejadian yang sudah dilihatnya, juga setiap detail perasaan sakit yang sudah dipendamnya. Ia berniat melupakan semua itu jika memang kenyataannya Rafael sangat mencintainya. Saat ia ingin membuka kesempatan itu, ia malah mendapat kenyataan yang sebaliknya. Rafael tak tak bisa memilih. Itu berarti, Vita masih berdiam di hati Rafael. Ika tentu tak dapat menerima semua itu. Ika menghela napas. Mungkin, memang sudah saatnya semua ini diakhiri.
            Ika berjalan ke arah pintu. Membukanya, dan mempersilahkan tamu yang tak di undang itu keluar.
            “Mending kamu pulang aja, Raf. Aku masih mau istirahat, aku capek. Mending kamu ke rumah Vita. Toh, sekarang kamu bebas. Bisa terang-terangan jalan sama dia. Nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi.” Jawab Ika. Pelan, sambil tersenyum. Sepertinya kemarahan yang tadi ditunjukan sudah mereda. Digantikan oleh segores luka yang *lagi-lagi* menyayat gatinya dengan sempurna.
“Apa lo bilang, Ika sama Rafael putus?” teriak Dicky.
            “Yup. Kira-kira udah seminggu yang lalu gitu deh.” Jawab Michel, sambil melahap gorengan yang ia beli.
            “Bukannya Ika sama Rafael selau mesra-mesra? Kok tiba-tiba putus gitu sih?”
            “Mmm.. Gak tau juga sih.” Kata Michel, dengan mulut penuh gorengan. “Keliatannya gara-gara masalah di PTC waktu itu.”
            “Masalah di PTC? Maksud lo?”
            “
Mm.. Waktu itu, kalo nggak salah nih, gue juga juga agak-agak lupa gitu, Ika ngeliat Rafael lagi jalan berdua sama cewek. Mm.. siapa ya? Mm.. kayaknya namanya Vita deh.”
            Mata Dicky membelalak.
            “Apaa??!! Vita??!!” tanyanya, setengah berteriak.
            “Duh, bisa tenangan dikit nggak, lo kok kayaknya antusias banget! Mm.. Ya, Vita kok kayaknya, kalo nggak ya mirip-mirip gitu deh.”
            “Emang Rafael sama Vita kenapa?”
            “Gue nggak tau pasti, tapi kayaknya tuh cewek mantannya Rafael. Ya, mungkin Ika sakit hati ngeliat Rafael jalan berdua sama cewek lain. Jad, mereka putus.” Jawab Michel, tak menyadari perubahan raut muka Dicky.
            Sialan! Gua kan udah bilang sama lo, Raf. Jangan sampe lo nyakitin Ika. Kalo udah gini.. Sial! Mana gue baru tau lagi! Damned, batin Dicky.
            “Kenapa Dick? Kok diem gitu? Lo nggak papa kan?” tanya Michel sambil menyentuh kening Dicky.
            “Eh.” Dicky menampik uluran tangan Michel. “Gue nggak papa kok. Balik sekarang yuk!”
            Michel mengangguk, lalu berjalan menjajari langkah Dicky, sambil membuang bungkus gorengannya ke dalam tong sampah.
Buk! Tinju Dicky langsung melayang tepat ke rusuk Rafael begitu cowok itu membuka pintu.
            “Kamu kenapa, Dick?” tanya Rafael, sambil memegang rusuknya yang terasa nyeri.
            “Lo bilang kenapa? Sialan! Terima ini!”     
            Buukk! Sekali lagi pukulan Dicky tepat mengenai sasaran. Rafael merintih kesakitan.
            “Ky, kamu yang bener dong! Emangnya kenapa sih? Nggak usah mukul kayak orang kesetanan gitu! Ngomong baik-baik, ada apa.”
            “Heh? Lo jangan  banyak komentar deh! Kalo lo nggak terima, lo boleh bales gue.” Dicky kembali melayangkan pukulan ke wajah Rafael, tapi segera ditangkis oleh Rafael. Tanpa Dicky sempat menghindar, pukulan tangan kanan Rafael tiba-tiba mengenai perut Dicky.
            “Kamu jelasin sama aku, ada apa sebenrnya.” Kata Rafael, sambil mencengkeram kuat lengan Dicky.
            Dicky segera melepas cengkeraman itu. “Lo masih tanya ada apa? Lo nggak nyadar apa salah lo?!”
            “Emangnya kenapa sih? Gue salah apa sama lo?”
            “Bukan sama gue, tapi sama Ika!”
            Mulut Rafael langsung terkunci begitu nama Ika disebut.
            “Lo janji apa sama gue, Raf? Lo janji nggak akan pernah nyakitin Ika! Lo bilang lo sayang sama Ika jadi gue relain lo sama dia! Sekarang apa! Lo tinggalin Ika, lo sakitin Ika, Cuma buat cewek shit kayak Vita?” Dicky tak bisa mengontrol emosinya yang meledak-ledak.
            “Jaga kata-kata lo!”
            “Heh, lo yang mestinya jaga kata-kata lo. Mana? Mana buktinya kalo lo bakal ngejaga Ika sampe mati? Mana? Cuma gara-gara Vita balik ke Indonesia, lo langsung berpaling gitu aja! Gue kan udah ngingetin lo dari awal, gue nggak suka lo buat Ika jadi pelarian!”
            “Siapa bilang gue jadiin Ika pelarian? Gue sayang sama dia.” Rafael mengambil posisi duduk di teras rumahnya. “Gue.. Gue Cuma nggaak tau apa yang gue rasain sekarang.”
            “Raf, gue emang ngggak tau apa yang ada dalam hati lo. Yang gue tau, lo udah nyakitin Ika. Itu berarti, lo udah nyakitin gue juga.” Dicky segera beranjak dari tempat itu. Setelah beberapa langkah, ia berbalik menghadap Rafael. “Kalo lo nyakitin gue, gue nggak akan pernah tinggal diem.”
            Rafael hanya diam, sambil memegangi kepalanya. Benar-benar nggak tau apa yang harus dilakkannya.
            Tiba-tiba HP di saku Rafael bergetar.
            “Halo.”
            “Hai, Rafa.” Jawab suara di seberang dengan ceria.
            “Ada apa Vit?”
            “Loh, kok lesu gitu sih angkat telepon dari aku? Eh, ke rumahku yuk? Aku udah siapin makan malam spesial buat kamu. Mau ya? Mau dong.”
            “Nggak deh, Vit. Aku capek hari ini.” Tolak Rafael.
            “loh, kok gitu sih? Aku kan udah susah-susah masak buat kamu. Mau ya? Please..”
            “Ya, udah.” Jawab Rafael akhirnya.



To Be Continued~

Thanks For Reading
Gbu =)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar