Part 11
Bulan purnama yang terlihat dari jendela kamar Ika sangar indah malam ini. Cahaya yang dipancarkannya sewmakin menawan dengan adanya bintang-bintang kecil di sekelilingnya. Bintang-bintang yang setia menemani sehingga sang bulan tak perlu kesepian dan sendirian dalam menerangi malam.
Sendiri. Itu juga yang dirasakan Ika saat ini. Perasaannya hampa, larut dalam kesendirian yang dirasakannya. Rangkaian kisah masa lalu yang diceritkan Rangga tadi masih tak mau lepas dari ingatannya.
“Mungkin cewek itu Vita.” Rangga memulai pembicaraan setelah Ika menceritakan semua yang dilihatnya.
“Vita?” ulang Ika.
“Mantan cewek Rafael, ya paling enggak bisa dibilang gitu.”
“Maksudnya?”
“Rafael belum pernah cerita tentang Vita?”
Ika menggeleng. Rangga sempat ragu.
“Aku nggak tau kenapa Rafael nggak pernah cerita sama kamu. Sebernya yang harus cerita masalah ini Rafael, bukan aku.” Kata Rangga.
“Please, Ngga. Aku nggak tau harus namya siapa lagi? Aku juga nggak mungkin namanya Rafael dalam keadaan nggak menentu kayak gini.” Ika memelas. Rheyna hanya diam di sebelahnya. Mendengarkan tiap poin cerita dengan saksama. *ceilah.. b.indonesia baku =D*
“Gini. Dulu, Rafael pernah suka sama Vita. Hubungan mereka bisa dikatakan udah deket banget, ya kayak kalian berdua gini. Sampai suatu hari, Rafael nembak Vita. Rafael udah berharap cintanya bakal diterima, tapi dua hari sejak penembakan itu Vita meninggal *eh! gak deng! Masalahnya.. tulisannya ‘penembakan’ yang ada penembakan itu pake pistol. =D lanjot dah lanjot!!!* Vita tiba-tiba keluar dari sekolah.”
“Keluar sekolah?”
“Vita mutusin pindah ke Australia. Katanya sih disuruh papanya yang ada kerjaan di sana. Ya, sejak itu Rafael jadi nggak pernah suka sama cewek. Semua cewek disamaratakan. Nggak pernaha ada yang dianggap spesial sama dia. Sampai, akhirnya dia..”
“Ketemu aku?”
Rangga mengangguk.
“Kita sendiri juga heran, tapi emang sejak ketemu kamu, Rafael mulai lebih ceria. Dia seperti kembali ke Rafael yang dulu. Semua berkat kamu. Kalo kata kamu Vita sekarang udah balik ke Indonesia, aku nggak tau. Menurutku Rafael sayang sama kamu, Ika. Jadi, kamu nggak perlu khawatir. Mungkin, mereka Cuma pergi bentar aja, nggak ada yang perlu dicemasin, oke?”
“Rafael nggak bilang sama Ika kalo dia lagi sama Vita? Seharusnya dia minta izin dulu! Pergi sama cewek lain, mantannya, lagi!” kali ini Rheyna angkat suara.
“Mm.. Mungkin itu juga salah Rafael. Atau, mungkin Rafael lupa. Mendingan kalian tanya baik-baik aja ke Rafael. Jangan esmosi eh emosi.” Kata Rangga.
“Ya udah. Aku nggak papa kok, Ngga. Thanks ya, buat ceritanya.” Kata Ika.
“It’s alright. Seneng bisa bantu kamu.” Kata Rangga.
Malam semakin bisu seiring dengaan terdengarnya tangisan tertahan dari kamar Ika. Rafael. Sampai sekarang ia belum menghubungi Ika. Sejak tadi siang, saat Rafael mengantarnya ke rumah Rheyna, ia tak lagi memberi kabar. Hati Ika berdegup cemas. Apa Rafael masih sibuk melepas rib=ndunya pada Vita sehingga ia melupakan Ika? Tangis Ika semakin keras.
“Taukah kamu.. semalam tadi.. aku menangis.. mengingatmu.. mengenangmu.. mungkin hatiku.. terluka dalam.. atau selalu.. terlukiskan.. kenangan kita...”
Rafael dan Vita. Sedekat apa mereka dulu? Apa sedekat hubungannya dengan Rafael sekarang ini? Atau bahkan lebih dekat daripada itu? Apa mereka dulu bahagia seperti yang dirasakannya sekarang? Atau bahkan lebih dari itu?
Mengapa Rafael tak mau berterus terang tentang kepergiannya bersama Vita? Toh, seandainya Rafael mau terus terang, ia tak akan melarang. Apa Rafael lupa? Atau ia memang sengaja lupa?
“Loh, Ika nggak makan?” tanya Cesa.
“Nggak. Males, Ces. Nanti Ika makan di kaantin aja waktu istirahat.” Jawab Ika.
“Kamu nggak papa, Ika?’
Ika menggeleng. “Nggak papa, tenang aja.”
“Kamu jadi ikut aku, Non?” panggil Alex dari lantai atas.
“Ya.”
“Ya udah. Siap yang cepet ya, aku mau jemput Vina dulu.”
“Beres! Ya, udah deh, Ces, aku mau ganti baju. Entar Aleex marah lagi kalo aku telat.” Pamit Ika, seraya naik ke atas.
“Ika?” panggil Cesa. Ika menoleh.
“Hari ini Rafael nggak jemput?”
“Mm.. Nggak. Ada urusan katanya.” Jawab Ika, lalu kembali ke dalam kamar, menahan debar-debar kencang yang mulai bergejolak di dadanya.
“Ika, kamu ada masalah sama Rafael?” tanya Alex, saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Rasa nyeri tiba-tiba muncul begitu nama Rafael disebut. Ika menarik napas panjang.
“Emang kenapa, kok nanya gitu?”
“Ya, nggak papa. Aku Cuma nanya. Kayaknya sejak kemarin Sabtu kamu jarang keluar kamar.”
“Halah, sok tau!” Ika mengelak. Elakan yang membuat hatinya semakin nyeri.
“Ya, udah, kalo emang nggak ada apa-apa. Cuma muka kamu pucat banget tuh! Kamu nggak sakitm kan?” tanya Alex, sambil menyentuh dari Ika.
Ika menggeleng. Bukannya sakit, Cuma nggak tidur semlaman, jawab Ika dalam hati.
“kalo sakit, kamu bilang aku ya, Non. Entar minta izin sama guru, aku anter kamu pulang.”
“Oh ya, Lex, enttar aku pulang sama Rheyna aja. Mau ke rumha Rheyna dulu, paling pulangnya juga agak maleman. Nggak papa kan?”
“Nggak papa. Mau ngapain?”
“Mmm.. Kerja kelompok.” Ika berbohong.
Alex menggeleng pelan. Ia tau adik semata wayangnya ini berbohong. Ika pasti puhnya masalah. Alex bisa merasakanny. Ika memang tak pandai menyembungikan perasaannya. Sekali ia berbohong, Alex adalah orang pertama yang mengetahuinya. Tentunya seperti saat ini. Hanya saja, Alex memilih diam dan pura-pura tidak tau. Ia percaya sang adik sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri.
“Ya, udah. Kamu ati-ati ya! Pokoknya, kalo ada apa-apa, kamu tau kalo kamu bisa ngandalin aku.” Kata Alex pelan, tapi tampak sungguh-sungguh.
Thanks, Alex.. batin Ika.
“Eh, Rafael. Mau jemput Ika?” sapa Cesa, begitu melihat Rafael sudah ada di teras rumahnya.
Rafael mengangguk. “Ika udah siap, Ces?”
“Lho, Ika udah berangkat kira-kira lima belas menit yang lali. Bareng sam,a Alex. Mau jemput Vina dulu. Jadi berangkatnya agak pagian. Kata Ika, kamu ada urusan jadi nggak bisa jemput Ika?”
“Nggak tuh. Siapa yang bilang?” tanya Rafael.
“Ika sendiri. Dia bilang kamu nggak bisa jemput dia hari ini, jadi dia ikut Alex.”
Wajah Rafael terlihat heran. Ada urusan? Kapan aku pernah bilang gitu sama dia, batin Rafael.
“Mmm.. ya udah deh Ces. Aku berangkat dulu ya.”
“He-eh. eh, Raf, kalo ketemu Ika, ingetin dia suruh makan ya. Tadi pagi belum makan, padahal dia paling nggak bisa kalo nggak makan pagi, suka masuk angin.”
Rafael mengangguk. “Pergi dulu, ya.”
Ika sayang, kamu kenapa sih? Kok nggak bilang dulu kalau mau berangkat sama Alex. Ada apa?
“Jadi, sejak Sabtu kemaren Rafael belum ngehubungi kamu?” tanya Rheyna.
Ika menggeleng.
“Hoi! Ngerumpi kok gak diajak sih!” tiba-tiba Michel ikut nimbrung.
“Wei! Tumben kamu dateng pagian gini, Mi? Wkwkw..” tanya Rheyna balik.
“Yup! Ya, gimana lagi, Dicky ngejemputnya pagi sih! Jadi, ya gue ikut aja deh!” kata Michel.
“Oo, jadi ada kemajuan nih..” Ika angkat bicara.
Michel tertawa senang. “Ya, nggak tau juga sih! Yang pasti gue happy.” Wajah Michel terlihat menerawang. Sepertinya dia benar-benar bahagia. Lain halnya dengan Ika.
“Lho, Ika, muka lo kok pucet banget! Lo sakit ya?” tanya Michel kemudian.
“Nggak kok, Cuma aku nggak tidur dua hari ini. Tadi pagi juga lupa makan.”
“Kok gitu?” tanya Michel.
“Mm.. ceritanya di rumahku aja ya! Nggak enak kalo cerita di sekolah. Kamu bisa kan pulang sekolah mampir bentar?” tanya Rheyna.
Michel mengangguk. “Lo ada masalah ya, Ika? Tenang aja, lo punya gue kok! Gue pasti bantu lo mati-matian.”
Ika tertawa. “Gayamu loh, Mi! But, anyway.. Thanks ya!”
“Mm.. Mi, kita ke kelasmu yuk! Aku mau pinjem kalkulator, lupa bawa nih!” kata Rheyna tiba-tiba, sambil menarik Michel keluar.
“Loh, bukannya lo paling suka pelajaran akutansi? Kok bisa lupa?” tanya Michel, yang segera tau jawabannya begitu dilihatnya Rafael sudah ada di pintu masukk kelas, sedang berjalan ke arah mereka.
“Oo, ya udah. Yuk! Gue juga kepingin ngerjain PR Geografi.” Keguanya bergegas beranjak ke luar.
Ika mendongakkan wajahnya. Dilihatnya cowok yang selama dua hari ini membuatnya tidak tidur sudah berdiri dengan senyum mengembang. Senyum kesukaan Ika.
Apa senyum itu juga yang kamu persembahkan buat Vita, Raf? Setulus itukan? Miris Ika dalam hati.
“Kok nggak ngabarin sih, Yang, kalo mau berangkat bareng Alex? Tadi pagi aku ke rumah, katanya kamu udah pergi.” Rafael memulai pembicaraan sambil duduk di kursinya. Di sebelah Ika.
Ika Cuma diam. Tiba-tiba hatinya kembali bergejolak. Gejolak yang sangat hebat. Ada ngilu yang juga ia rasakan bersama besarnya gejolak itu.
“Yang?” Rafael pindah ke kursi kosong di depan Ika. “Kamu sakit? Muka kamu pucat loh.” Tanya Rafel, sambil mencoba menyentuh pipi sebelah kiri, yang segera ditepis pelan oleh Ika.
“Kenapa, Yang? Kamu nggak papa kan? Kok diem gitu sih? Jelek lo!” gurau Rafael, yang kalau saja bukan hari ini pasti akan dibalas Ika.
Rafael mulai tak mengerti dengan sikap diam Ika.
“Ika! Kamu kenapa sih?” Rafael menaikkan nada suaranya.
“Mm.. Aku ke kelas Michel dulu, ya.” Pamit Ika, sambil berdiri dari kursinya, lalu dengan cepat kelluar kelas dan berlari ke kelas Michel.
Tinggal Rafael yang menatap kepergian Ika dengan heran. Ada apa dengan pacarnya ini?
“Non Vita kok senyum-senyum sendiri gitu sih?” tanya sebuah suara.
Vita pagi itu sedang duduk manis di ayunan besar yang terletak di sudut taman yang juga tak kalah besar. Di sudut lain, ada vila cantik bergaya tradisional tapi tetap mengandung unsur modern. Dengan harapan bunga berbagai jenis, taman yang memang sudah indah terlihat sangat asri. Di tengah taman itu ada kolam renang dengan papan luncur di ujung sebelah kanan.
Vita melihat ke arah suara yang menyapanya. Ternyata salah seorang pelayan keluarganya tersenyum manis di sebelahnya sambil membawakan segelas blue punch.
Vita mengambil gelas berisi minuman kesukaannya itu, lalu segera meminumnya. Sudah lama sekali ia tak merasakan kesegaran blue punch.
“Makasih.” Kata Vita, setelah isi gelas itu habis tak bersisa.
Pelayan itu tersenyum. “Non Vita pasti lagi senang ya? Dari tadi saya lihat Non senyum-senyum sendiri.”
Vita masih tetap tersenyum. “Nama kamu siapa?”
“Ani, Non.”
“Ya, An. Aku memang lagi happy banget!”
“Pasti gara-gara cowok yang waktu itu ke sini ya, Non?”
Wajah Vita memerah. “Ya, An. Aku bahagia banget bisa ketemu dia lagi.”
“Orangnya ganteng loh Non. Cocok banget sama Non Vita yang juga cantik.”
“Emang beneran cocok? Kira-kira dia masih suka nggak ya sama aku? Kan aku sama dia sudah lama nggak ketemu.” Tanya Vita pada Ani.
“Ya, pasti suka lah, Non. Wong Non Vita cantik begini masa nggak suka? Kan nggak mungkin, Non.”
“Jangan-jangan dia udah punya cewek lagi. Gimana dong, An, kalo ternyata udah punya cewek?”
“Loh, teman Non itu bilang nggak kalo dia udah punya cewek?”
Vita menggeleng.
“Ya, sudah, Non, berarti dia masih single. Mungkin sengaja nungguin Non Vita sehingga dia nggak mau punya pacar dulu.” Jawab Ani.
Mau tak mau wajah Vita kembali bersemu merah.
Apa bener Raf? Apa kamu bener nungguin aku? Apa kamu masih sayang banget sama aku sampai-sampai nggak ada cewek lain yang bisa merebut hati kamu? Batin Vita sambil tersenyum.
“Ika?” Rafael menarik tangan Ika ketika hendak naik ke Jazz Silver milik Rheyna.
“Eh, lo jangan kasar sama sahabat gue dong!” Michel melepas cengkeraman Rafael di tangan Ika.
“Sori. Mm.. Aku mau ngomong sebentar sama Ika, bisa?”
Michel mengedikkan bahu.
“Ika, kamu marah sama aku?” tanya Rafael, begitu mereka tinggal berdua.
“Marah? Buat apa aku marah sama kamu, Raf? Kamu ada salah apa sama aku?” jawab Ika pelan, tapi tak mau melihat mata Rafel. Pandangannya mengarah ke bawah.
“Ika, kalo ngomong liat mataku dong! Masa aku dicuekin gini sih?” Rafael mengangkat lembut wajah Ika.
Wajah putih cewek di hadapannya benar-benar terlihat pucat. Lingkaran hitam di bawah matanya terlihat jelas, tanda bahwa ia tak cukup tidur. Wajahnya tak lagi terlihat cerah. Matanya juga sayu, seakan menyembunyikan beban berat. Sepertinya ada luka bersarang di dalamnya.
“Kamu marah> gara-gara kematin akub nggak ngehubungin kamu seharian?” tanya Rafael. Ika ingin tertawa sekeras-kerasnya. Tertawa sampai menangis. Bisa-bisanya Rafael berpikir sedangkal itu. Tak sadarkah ia akan kesalahannya yang lebih besar?
“Kamu jangan marah dong! Kemarin aku sibuk latihan, tanya Reza kalo nggak percaya.” Jelas Rafael.
Tentu aja aku percaya, Raf. Bukan itu yang aku permasalahkan. Bukan kemarin, tapi ke mana kamu hari Sabtu lalu? Itu yang perlu kamu jelasin, teriak Ika dalam hati.
“Please dong, Ika! Jangan diem gini? Sayang.. Please..”
“Mm.. Rheyna sama Michel udah nunggu aku tuh! Aku pulang dulu ya, Raf. Kapan-kapan aja kita ngomong lagi. Nggak enak sama mereka kalo kelamaan.” Pamit Ika.
“Aku bisa antar kamu pulang, atau ke mana pun kamu mau. Mereka suruh aja pulang dulu.” Larang Rafael.
“Ya, nggak bisa dong, Raf! Namanya jannji, ya harus ditepati. Lagian, mungkin kamu juga masih ada janji sama orang lain. Bye.” Ika berjalan ke arah kedua temannya, yang sudah menunggunya dengan tatapan cemas.
Rafael tak kuasa melarang. Ada apa dengan pacarnya itu? Tak biasanya ia bersikap dingin seperti ini? Rafael benar-benar tak mengerti.
“Jadi, Rafael jalan sama mantannya itu tanpa ngomong sama lo?” tanya Michel.
Ika menagngguk.
“Kok kalian baru cerita sama gue sih? Kurang ajar banget tuh cowok! Awas kalogue ketemu lagi! Sahabat gue ini kurang baik apa coba, sampe-sampe dia harus balik sama mantan shit-nya itu!”
“Udahlah. Nggak usah marah kayak gitu, Mi. Yang aku heran, kok bisa-bisanya Rfael nggak menyadari kesalahan yang udah di buatnya?” ujar Rheyna.
“Ya, mau gimana lagi? Coeok emang gitu.” Kata Ika.
“Ya, nggak bisa gitu dong, Ika! Harusnya dia minta maaf sama kamu, paling enggak dia harusnya ngejelasin. Bukan pura-pura nggak tau kayak gini.” Kata Rheyna.
:Makan dulu yuk! Tante udah buatin nasi goreng spesial nih!” mama Rheyna tiba-tiba muncul di pintu kamar Rheyna.
“Ya, Ma. bentar lagi kita turun. Mama makan dulu aja.” Jawab Rheyna.
“Ya, Tante makan dulu aja, kita nyusul.”
“Ya, udah, jangan lupa makan ya! Udah disiapin di bawah.”
“Makasih, Tante.”
“Lo belum ngomong sama Rafael kalo lo udah tau semuanya?” tanya Michel, begitu mama Rheyna menutup pintu.
“Beum. Kalo udah, mungkin sejak tadi aku sama dia udah berantem.”
“Lo berniat cerita sama dia kapan? Nggak mungkin dong lo terus-terusan ngehindar kayak hari ini?”
“Aku tau nggak mungkin bisa selamanya diem. Ya, aku pasti ngomong sama dia lah, Cuma nunggu waktu yang tepat aja. Di sini masih belum siap.” Jawab Ika, sambil menunjuk dadanya.
Michel merangkul pundak Ika.
“Gue nggak nyangka, pacaran begini berat. Apalagi kalo ada masalah kayak gini. Pasti sakit banget kan, Ika? Gue jadi nggak kepengen pacaran deh!”
“Yee.. Nggak mungkin lagi! Masa kamu mau langsung nikah, nggak pake pacaran? Dicky tercinta mau kamu taruh di mana?” kata Rheyna.
“Oh.. iya.. ya..” Michel menepuk dahinya. “Wah, gimana dong! Gue sayang banget sama Dicky!”
“Hahaha..” mereka bertiga ngakak.
“Ya, udah deh, kita makan dulu yuk! Entar nasi gorengnya keburu dingin. Kamu belum makan dari pagi kan, Ika?” ajak Rheyna.
Ika menggeleng. “Ya nih, aku laper banget! Makan yuk! Aku ambil porsi besar ya, Rhey. Luapeerrr buanget nih!”
“Hahahaha.. Dasar maunya lo aja! Gue juga ambil porsi besar, ya! Gue juga laper!” kata Michel.
Sementara mereka bertiga keluar kamar, radio di kamar Rheyna berbunyi nyaring.
“Hai, girls! Asih sama DJ Stey di sini, di acara khusus buat kamu para kaum yang disebbut cewek, perempuan, wanita, atau sebangsanya, deh! Tak lain dan tidaklah bukan, Forever Love! Tepuk tangan! Hahaha... Ya, udah deh, kelamaan basa-basinya entar. Stey langsung kasih lagu pembuka ya! Cobalah Untuk Setia from KD. Stay tune...”
“Apalah maumu kasih... Kaupilih di dalam hidupmu..
Nyatanya kulihat kini.. Tak bisa kau coba untuk setia..
Sudah cukuplah sudah.. Ku memberikan waktu...
Kau selalu tak bisa.. Memcoba untuk setia...”
Tepat di depan pagar rumah Ika, SLK biru sudah terpakir rapi. Sepertinya kendaraan itu sudah cukup lama berhenti di tempat itu. Persis di sebelahnya berdiri seorang cowok berseragam sekolah sedang menunggu. Sepertinya ia hampir putus asa kalau saja ia tak segera melihat cewek yang ingin ditemuinya.
“Kamu nggak papa, Ika? Rafael udah nunggu tuh/” tanya Rheyna.
Ika belum mau keluar dari mobilnya. Ia menarik napas panjang.
“Oke. Mau nggak mau, sekarang atau nanti aku juga harus berhadapan sama dia. Wish me luck, ya Rhey.”
Rheyna mengangguk mantap.
Sesaat setelah melihat Ika turun dari mobil Rheyna, rona wajah kusut Rafael berubah cerah. Akhirnya penantiannya tidak sia-sia.
Ika hanya melihat sekilas cowok di hadapannya itu, lalu melenggang masuk ke rumah.
“Ika, please, ngomong dong sama aku! Jangan diem terus kayak gini.” Panggil Rafael, sambil menarik tangan Ika.
Ika tetap diam.
“Ika!”
“Kamu mau aku ngomong apa, Raf?” akhirnya bibir Ika yang mungil mengeluarkan suara. “Kamu mau aku bilang kemarin aku lihat kamu di PTC, gitu?” seru Ika. Nada suaranya meninggi. “Atau kamu juga mau aku bilang kemarin aku lihat kamu berduaan mesra sama cewek lain, gitu?”
Rafael diam. Wajahnya terlihat kaget.
“Vita kan? Dia udah ballik dari Aussie?” seru Ika lagi, sementara yang ditanya masih tak bisa menjawab.
“Kamuu..”
“Kenapa? Kaget aku tau? Mau tanya aku tau dari mana?” Ika mencecar dengan raut muka dingin. Seperti sedang berusaha membekukan luka dalam hatinya yang kali ini terasa perih. Sangat perih.
“Ika, biar aku jelasin dulu.”
Ika diam. Mematung. Hatinya miris.
“Dia.. Cewek itu memang Vita. Dia baru balik dari Aussie.”
“Jadi, baru balik langsung nge-date?” kata Ika sinis.
“Bukan gitu, Ika. Aku Cuma diminta nemenin dia, itu aja. Kamu jangan cemburu yang berlebihan gini dong!”
“Raf, aku nggak akan cemburu kayak gini kalau aja kamu bilang ke aku. Apa susahnya sih jujur ke aku?”
“Aku nggak ngomong kalau aku pergi sama Vita demi kebaikan kamu. Aku nggak mau kamu berpikir yang nggak-nggak tentang aku sama dia. Kita Cuma temen kok, Ika.” Rafael mencoba menjelaskan.
“Kalau Cuma temen, buat apa dia menggelayut manja di pundak kamu kayak gitu. Kamu pikir aku nggak bisa mbedain mana yang temen mana yangbukan, Raf?”
“Itu.. Tapi aku emang nggak ada hubungan apa-apa sama dia. Please dong, jangan kayak anak kecil gini. Kamu udah besar, Ika!”
“Anak kecil? Siapa yang anak kecil? Aku atau kamu? Bukannya kamu pernah suka sama Vita? Buknnya dia satu-satunya cewek yang udah bikin kamu patah hati?”
“Ika? Kamu tau masalah itu?” wajah Rafael menegang.
“Ya. Kamu nggak pernah cerita ke aku tentang itu. Apa salahnya sih cerita tentang Vita ke aku? Bukannya main sembunyi-sembunyi gini! Sekarang, setelah ketahuan, baru kamu mau ngejekasin ke aku. Raf, aku ini pacar kamu! Apa sulit cerita sama pacar sendiri? Sekarang, kamu mau bilang apaa lagi? Kamu mau bilang udah dapet Vita tercinta kamu itu? Kamu mau bailang mau putus sama aku? Gitu?” iak berkata dengan nada tinggi. Dadanya berdebar-debar. Baru kalli ini ia merasa semarah ini, sesakit ini. Ia hampir tak punya sisa kekuatan terus berhadapan dengan cowok yang sangat dicintainya ini.
“Ika, jangan gitu. Denger dulu!” nada suara Rafael ikut meninggi. Tangannya mencengkeram erat pundak Ika. Memastikan pandangan Ika mengarah padanya.
“Sakit, Raf.” Suara Ika melemah. Ia sudah tak punya tenaga lagi untuk terus berdebat. Apalagi dengan orang yang sangat dia sayangi. Sebutir bening air mata mengalir keluar dari pelupuk matanya. Perih. Ia hanya ingin mengakhiri luka yang seperti ditusuk-tusuk ini.
Rafael mengendurkan cengkeramannya. Menatap lurus ke aarah Ika. Lembut.
“Aku sama dia nggak ada apa-apa, Ika.”
“Kenapa sih, Raf? Kenapa kamu nggak jujur sama aku?” Ika melepaskan tangan Rafael dari pudaknya. Nada suaranya bergetar. “Kenapa? Kenapa kamu nggak pernah cerita tentang Vita? Kenapa di depan Rangga aku jadi pihak yang nggak tau apa-apa? Kenapa, Raf?” kali ini Ika merasakan genangan air dalam matanya sudah tak dapat dibendung lagi. Seketika mengalir deras membanjiri wajah cantiknya.
“Jadi Rangga yang cerita sama kamu?” tanya Rafael.
Ika mengangguk.
“Aku nggak sengaja ketemu dia. Jadi, kamu jangan salahin dia tentang ini. Dia udah cerita semuanya. Semua yang nggak pernah kamu bagi ke aku, pacar kamu sendiri. Sebenrnya kamu sayang nggak sih sama aku?” Ika mencoba berdiri tegar, padahal perasaannya sudah hancur sampai ke keping yang terkecil.
“Aku.. Aku sayang kamu, Ika, tapi...”
Ika menghela napas. Tak kuat lagi.
“Sayangnya kamu nggak pernah jujur sama aku. Bahkan kamu nggak mau cerita tentang masa lalu kamu sekalipun. Aku selalu cerita apa aja ke kamu.”
“Ika..”
“Raff..” Ika menyela ucapan Rafael. “Seandainya aku nggak ngeliat langsung, apa kamu bakal cerita kam pergi sama Vita?”
Rafael diam. Lagi. Hatinya juga serasa tak menentu. Kacau.
“Nggak kan? Udah deh, Raf. Aku udah capek. Emndingan kamu pulang, kamu pasti juga udah capek.”
“Ika, plese... Vita Cuma masa lalu.” Pinta Rafael saat Ika sudah membalikkan badan, hendak meninggalkannya.
Ika tidak jadi melangkah. Pernyataan Rafael barusan menggugahnya untuk mengajukan satu pertanyaan.
“Masa lalu?” tanya Ika, tanpa membalikkan badan.
Rafael mengangguk.
Ika mennoleh, menghadap Rafael, lalu tersenyum lembut. Ada goresan luka yang teramat dalam terpancar jelas dari bola matanya, yang terlihat berkilau oleh pantulan air mata yang sudah menggenang.
“Apa kejadian mesra di PTC kemarin juga bagian dari masa lalu, Raf?” jawab Ika, dengan sisa tenaga yang ada. Mencoba bertahan tanpa meneteskan air mata lagi. Dengan perasaan hancur ia lalu berjalan masuk ke rumah. Sementara Rafael hanya bisa mematung memandang sosok Ika menjauh, tanpa punya kekuatan untuk mencegah.
Ika menangis. Benar-benar menangis. Tak ada lagi Ika yang mencoba tegar. Tak ada lagi Ika yang mencoba kuat dan bertahan. Ika lemah. Rapuh. Hatinya sakit. Nyeri sampai ke relung hati yang paling dalam. Ika menangis. Menandis dan menangis. Berharap semua luka dan sakit yang dirasakannya turut ke luar pergi bersama air matanya. Ia sadar, semakin ia menangis, semakin pula luka yang dibuat Rafael terasa perih.
Rafael mengapa ia tak jujur padanya? Mengapa ia tak mau bercerita tentang Vita jika memang gadis itu pernah ada dalam masa lalunya? Selama ini, Ika selalu merasa ia nomor satu di hati Rafael, begitu pula Rafael di hatinya, karena memang tak pernah sekali pun Rafael menceritakan gadis lain didepannya. Sekarang, kenyataan apa yang didepanya? Kenyataan bahwa ia hanya “gadis kedua”? kenyataan bahwa pacarnya sendiri tak pernah bercerita padanya? Kenyataan bahwa baru saja sang “gadis nomor satu” kembali ke kehidupan pacarnya? Atau kenyataan bahwa Rafael memang tak pernah jujur padanya? Tak pernah menyayanginya?
Ika menangis. Tak menggubris HP-nya yang berdering dan memunculkan nama Rafael di layar yang berkedap-kedip. Ia menangis. Terus menangis.
Mengapa diciptakan tawa... Jika tangis takkan pernah sirna..?
Mengapa diciptakan bahagia.. Jika kesedihan akan selalu ada..?
Dan mengapa tercipta cinta... Jika pada akhirnya menimbulkan luka...?
Sementara Ika tertidur lelap setelah cukup lama menangis, Rafael mengemudikan mobilnya kembali ke rumah berpagar cokelat yang tadi baru saja dijunjunginya. Ia membuka kaca jendela, melihat salah satu kamar di sudut lantai dua.
Lampu di kamar Ika masih menyala, berarti dia belum tidur, pikir Rafael. Ia mengambil HP dan mencoba menghubungi Ika sekali lagi. Hasilnya tetap nihil, alias nggak di angkat.
Rafael menyandarkan tubuhnya. Pikirannya sangat kacau. Ia sama sekali belum pulang sejak tadi siang. Ia benar-benar tak tau harus melakukan apa. Hatinya berkecamuk. Seakan sedang memarahinya karena kebodohan besar yang sudah dibuatnya. Sial! Kenapa aku harus nyakitin Ika, batin Rafael.
Tiba-tiba HP di saku Rafael bergetar. Layarnya memunculkan nama yang sama sekali tak diharapkan Rafael. Apa lagi di tengah kekacauan yang melanda hatinya. Vita
Dengan ragu, sedetik kemudian yakin, Rafael me-reject telepon dari Vita.
Sekali lagi Rafael menatap kamar di sudut lantai dua itu, kemudian kembali ke kemudi setir dan melaju cepat ke rumah salah satu sahabatnya. Ya, Rangga, satu-satunya orang yang mungkin bisa menjernihkan pikirannya sekarang.
“Ngga, aku udah di depan rumah. Cepet turun, want to talk spmething.” Kata Rafael, begitu sampai di depan rumah Rangga.
“Kamu udah bilang apa aja sama Ika?” tanya Rafael.
“Ika udah bilang ya sama kamu? Sori, Raf. Semua udah aku ceritain.” Jawab Rangga,
“Semua?”
Rangga mengangguk.
“Ya, semua. Dari waktu kamu masih suka sama Vita. Waktu kamu nembak dan nggak dijawab, sampai wakti Vita akhirnya pindah ke Aussie, semua udah aku ceritain ke dia. Jujur, aku nggak nyangka Ika nggak tau apa-apa tentang hubungan kalian. Ya, walau itu Cuma masa lalu, aku pikir kamu udah cerita ke dia.”
“Itu juga aku sesali, Ngga. Kenapa aku nggak pernah terbuka sama Ika tentang Vita? Sekarang, nggak ada alasan nyalahin siapa-siapa. Toh, Ika udah terlanjur ngeliat sendiri aku jalan sama Vita.”
“Kenapa kamu jalan sama Vita lagi? Kamu kan udah punya Ika, Raf?”
“Aku sama Vita Cuma onton, itu aja. Nggak ngapa-ngapain.a ku Cuma diminta nemenin dia. Titik.” Jelas Rafae.
“Kamu nggak bilang kan sama Ika?”
Rafael diam. Ia memang merahasiakannya dari Ika.
“Kamu sayang sama Ik,a Raf?” tanya Rangga.
“Aku sayang dia. Aku bener-bener nyesel waktu ngeliat dia terluka. Aku udah nyakitin dia.”
“Kamu juga masih sayang sama Vita?”
Deeegg.. Rafael jembali diam. Mengapa pertanyaan segampang ini tak pernah sekali pun terlintas di benaknya? Bodoh, umpat Rafael dalam hati.
“Kalau kamu nggak ada perasaan lagi sama Vita, kenapa mesti ngerahasiain ini dari Ika? Ika berhak tau kan ke mana pacarnya pergi? Apalagi kalo pacarnya pergi sama mantan ceweknya.”
Rafael tetap diam.
“Bro, seharusnya kamu benerin dulu tuh hati. Kamu sayangnya sama siapa? Cintanya sama siapa? Tanya sama hati kamu.” Kaya Rangga bijak, mengakhiri percakapan mereka malam itu.
“Udah malem. Aku mau tidur. Kalau masih belum mau pulang, nggak papa. Yang penting, jangan lupa tutup pintu kalo mau cabut. Aku naik.” Pamit Rangga, lalu kembali ke kamar. Sementara itu, Rafael tak beanjak dari posisi duduknya. Hati dan pikirannya masih berkecamuk tak keruan.
Jujur diakui ia memang sayang sama Ika. Ika, gadis yang sudah membuat hari-harinya menjadi bahagia dan berwarna. Akan tetapi, ia juga tak bisa mengingkari bahwa terselip rasa rindu yang mendalam saat ia bertemu kembali dengan Vita. Senyum Vita, deretan giginya uang rapi, tetap ia rindukan.
Rafael masih juga terjaga walau malam telah semakin larut. Gelapnya malam seakan tak bisa membuatnya memejamkan mata. Pandangannya menerawang, menatap lurus ke langit-langit kamarnya. Diiringi lagu Demi Waktu dari Ungu, yang mengalun dengan volume pelan dari CD-playernya.
Aku yang tak pernah bisa... lupakan dirinya...
Yang kini hadir di antara kita...
Namun ku juga takkan bisa... menepis bayangmu..
Yang slama ini... temani hidupku...
Vita, gadis yang pernah mengisi hari-harinya kembali hadir ke kehidpannya. Bahkan di tengah kebahagiaan hubungannya denga Ika. Rafael jadi gundah. Tak menyangka bahwa permasalahan akan menjadi serumit ini. Sesekali ia mengacak rambutnya, sesekali membalikkan badan, sesekali mengejapkan mata, tapi tetap ia tak mendapat jawaban atas berbagai pertanyaan dalam pikirannya.
Sebenarnya siapa yang ia sayang? Vita, yang pernah mengisi harinya, yang juga pernah meninggalkannya dan memberi luka yang sulit diterima olehnya? Atau Priyanka, gadis yang sudah berhasil dengan sempurna menyembuhkan luka di hatinya, yang sekarang mengisi hari-harinya dengan tawa dan senyum yang hangat, tapi yang baru saja menangis dan terluka karena kebodohan besar yang dilakukan olehnya? Sungguh sedikit pun Rafel tak dapat menemukan jawaban atas semua kegalauannya ini. Mungkinkah aku menyayangi keduanya, batin Rafael sambil menutup pelan kedua matanya.
Kalau saja waktu itu.. ku tak jumpa dirinya..
Mungkin semua takkan seperti ini..
Dirimu dan dirinya kini.. ada di hatiku..
Membawa aku dalam kehancuran..
To Be Continued~
Thanks for reading
Gbu =)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar